Efin Fintiana

Emak-emak pengen eksis


Leave a comment

Diet Kantong Kresek

Sebelum ada kebijakan “kresek berbayar”, aku sudah biasa membiasakan diri membawa tas belanja (tas kain) saat berbelanja ke supermarket, minimarket, bahkan ke warung Bu Alip dan lapak sayurnya Mbak Sal -keduanyaΒ  berada di belakang rumah. Ini kulakukan untuk mengurangi konsumsi kantong kresek di keluarga kecilku ini.

Meski aku sudah melakukan “diet kantong kresek”, sampah kantong kresek atau plastik di dapurku masih aja banyak. Terbukti dari isi tong sampah yang aku serahkan ke petugas kebersihan setiap Rabu dan Sabtu, tetap saja banyak. Sampah kresek yang bersih dan kering juga masih menumpuk. Kresek bersih dan kering yang aku kumpulkan diserahkan kepada Mbak Sal untuk dipakai jualan, tetap saja jumlahnya banyak.

Pada waktu Idul Adha kemarin, panitia membagi-bagikan daging-daging qurban menggunakan kantong kresek ramah lingkungan. Wah, bagus nih, pikirku. Seharusnya supermarket dan minimarket diwajibkan menggunakan kresek ramah lingkungan ini.

Beberapa waktu lalu, aku berbelanja di sebuah supermarket besar di Depok. Seperti biasa, aku menyodorkan tas-tas belanja ke kasir agar belanjaku tak usah dibungkus kresek. Kasir laki-laki itu berusia sekitar 40-an. Si bapak kasir itu tiba-tiba bilang, “Bu, ini plastiknya gratis sekarang.” Hadeuh! Terpaksa aku ceramahin deh dia, sampai nyebut-nyebut paus mati yang terdampar di pantai, yang di dalam perutnya penuh berisi kantong plastik.

Rupanya banyak orang yang masih belum mengerti esensinya, bahwa pengurangan kantong plastik/kresek itu bukan semata-mata faktor ekonomi (gratis atau tidak), melainkan kepentingan yang lebih besar, yakni kelestarian lingkungan. Sudahkan anda melakukan “diet kantong kresek” hari ini? πŸ™‚


Leave a comment

Seledri Tak Jadi Mati


Menanam dengan sistem hidroponik itu gampang-gampang susah. Maksudnya, gampang bagi yang sudah ahli di bidang hidroponik, atau minimal mereka yang telaten. Tapi bagi saya yang kurang telaten dan malas merawatnya, tanaman hidroponikku jarang yang bisa bertahan lama.

Contohnya tanaman seledri. Entah berapa puluh kali pot self watering dengan media hidroton ini berganti bibit seledri. Semuanya berakhir sama: mati.

Mungkin karena pemakaian nutrisinya yang kurang pas. Ini pun aku menggunakan cara pembiakan vegetatif, karena aku belum berhasil menanam seledri dengan cara menyemai benihnya.

* * *

Suatu hari, suamiku membeli mesin KanGen Water, yaitu mesin yang bisa menghasilkan air minum sehat, karena mengandung alkaline, anti-oksidan, dan micro cluster, dengan Ph (tingkat keasaman) mulai dari air netral (Ph 7), air alkaline (Ph 8,5 – 9,5), hingga air untuk pembersih dan antiseptik.

Saat mesinnya dioperasikan untuk membuat air minum yang menyehatkan (juga air untuk pembersih/Strong KanGen dan air untuk kecantikan/Beauty Water, dan juga air antiseptik/Strong Acid), air buangannya berupa air yang sedikit mengandung asam, biasanya dibuang begitu saja.

Berdasarkan info sewaktu pelatihan hidroponik, bahwa air untuk hidroponik itu sedikit mengandung asam, aku coba air buangan KanGen Water ini untuk mengisi pot self watering, dan di atasnya kutanam akar seledri yang kubeli dari tukang sayur. Seledrinya sudah dipakai untuk masak.

Awalnya, seledri itu layu (seperti biasanya). Tapi aku biarkan saja, dan tidak segera kucabut lalu dibuang. Beberapa hari kemudian, eee malah kelihatan ada kemajuan.

Dan seledrinya menjadi segar dan hidup. Mudah-mudahan bukan PHP nih. Padahal, airnya tidak kuberi nutrisi hidroponik sama sekali.

Itu pengalamanku. Bagaimana dengan anda? πŸ™‚Β  ***

Catatan: biasanya seledri dengan air hidroponik yang diberi nutrisi, awalnya seledri itu segar, tapi lama-lama layu lalu mati. Dengan air asam dari KanGen Water, awalnya justru layu, tapi 3-4 hari kemudian, seledrinya menjadi segar dan muncul tunas baru.

Keterangan:

Foto atas: Seledri yang kembali bersemi

Foto bawah: Mesin KanGen Water dan seledri yang layu, sebelum dikasih KanGen Water


Leave a comment

Kemarau Panjang, Hematlah Air!

Dulu, aku sebel banget deh kalau melihat almarhumah ibu saya menaruh ember di sink atau tempat cuci piring. “Merusak pemandangan nih,” pikirku, yang saat itu masih gadis remaja. Hehehe. Buat apa sih beliau menaruh ember di situ?

Jpeg

Air cucian di ember.

Ternyata…

Air, kalau lagi banyak, sadar atau tidak sadar, sering kita hambur-hamburkan. Baru terasa kalau lagi kemarau panjang seperti sekarang ini.

Sebenarnya, banyak cara untuk menghemat air. Salah satunya, seperti dilakukan almarhumah ibuku, yang menaruh ember di bak cuci piring tadi. Buat apa?

Itu buat menampung air sisa cuci sayuran, cuci beras, dan cuci-cuci lainnya yang tidak menggunakan sabun. Soalnya, air tampungan itu bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman.

Jpeg

Air cucian ditampung.

Keuntungannya, selain tanaman tetap segar dan hidup kendati kemarau, juga tidak melukai perasaan tetangga karena menggunakan air banyak-banyak untuk menyiram tanaman.

Begitu pula kalau berwudhu. Air wudhu ditampung di ember, yang kemudian digunakan untuk menyiram kloset atau WC. Bisa juga untuk bersih-bersih (menyikat) kamar mandi.

Di masjid atau mushala, aku sering lihat orang berwudhu dengan membuka keran secara maksimal, dan air menggelontor dengan derasnya. Padahal, dalam berwudu, kita bisa menggunakan air seperlunya. Jika memakai keran, kerannya dibuka sekadarnya. Dengan air mengucur kecil pun, wudhu kita sah. Demikian pula kalau memakai gayung, cukup satu gayung. Rasulullah SAW tidak mencontohkan berwudhu sambil membuang-buang air.

Di Masjid Salman ITB, Kota Bandung, keran air wudhu sampai diakali agar tidak bisa mengocor deras, melainkan air keluar seperlunya.

Soal menggunakan air secara hemat untuk berwudhu, kita perlu belajar sama orang Afrika -yang iklimnya relatif kering. Mereka biasa berwudhu dengan menggunakan sebotol air mineral ukuran 600 ml.

Begitu pula dengan orang Rohingnya Myanmar. Mereka terbiasa menggunakan air secara minimal.

Jpeg

Penampungan air hujan.

Ketika musim hujan tiba, kita juga masih bisa menghemat dengan cara menampung air hujan. Misalnya menaruh ember di bawah air cucuran atap. Airnya bisa digunakan untuk untuk menggosok lantai kamar mandi dan kloset, atau untuk mencuci lantai teras depan atau carport.


2 Comments

Berkah Sinar Matahari

Lebih dari setahun lalu, aku menanam benih cabai rawit di 10 pot plastik, dengan media tanam sampah organik. Waktu itu, kami tinggal di rumah kontrakan, karena rumah kami sedang direnovasi.

Setelah rumah selesai direnov, ke-10 pokok tanaman cabai rawit oranye itu kami boyong ke rumah kami, yang tinggal menyeberang gang. Ke-10 tanaman cabai itu aku tempatkan menyebar di halaman rumah. Ada yang di tempat teduh, ada pula yang langsung terekspos sinar matahari.

Dari 10 pot itu, 4 mati, 2 berbuah lebat hingga beberapa kali dipanen. Nah, 4 lainnya hidup tapi tak kunjung berbuah.

Setelah aku perhatikan, yang 4 cabai tidak berbuah itu berada di tempat teduh. Sedangkan yang berbuah lebat, disinari matahari secara langsung.

Bagi petani beneran, mungkin ke-4 pot yang tak berbuah itu akan dibuang, karena tidak produktif. Bagiku tidak. Aku malah jadi penasaran.

Sebulan terakhir ini, ke-4 pot itu aku pindahkan ke tempat yang terkena sinar matahari.

Hasilnya, sungguh menakjubkan. Tiga tangkai cabai sudah mulai berbuah, sedangkan satu lagi masih malas-malasan. Sungguh, berkah sinar matahari. πŸ™‚


Leave a comment

Sampah Organik di Mangkok Retak

Ngapain tuh mangkok retak ditaruh di dekat tempat cuci piring? Kenapa nggak dibuang aja sih?
Mangkok retak itu emang sengaja diletakkan di dekat sink untuk menampung sampah-sampah organik yang tersisa dari piring-piring kotor. Selain agar sink tidak tersumbat, sampah organik itu juga dibuang ke pot-pot tanaman dan lubang biopori.
Jadi, sampah yang diangkut tukang sampah setiap Rabu dan Sabtu sudah bebas sampah organik (yang menyebabkan truk-truk sampah berbau busuk).
Rencananya sih nanti mau bikin kompos dari sampah organik itu. Hanya saja alat pembuat kompos sederhananya belum dibikin.
mangkok_retakOK


7 Comments

Lihat Kebunku Penuh Sampah Dapur

Rumah kecil kami sedang direnovasi total. Terpaksa lah kami pindah ke rumah tetangga yang kosong. Kebetulan pemiliknya sudah pindah ke perumahan lain.

Sebelumnya, aku biasa membuang sampah organik dari dapur ke lubang-lubang biopori yang dibuat suamiku dan anakku, Fay.

Fay dan ayahnya ngebor lubang resapan biopori.

Tapi di rumah yang kami kontrak ini di halamannya tak ada tanah. Hampir semuanya ditutupi lantai keramik dan plesteran semen. Lagipula belum tentu pemilik rumahnya rela kalau tanahnya dibolongi. πŸ˜€

Hmmm, apa yang harus kulakukan? Aha! aku beli sepuluh pot bunga ukuran sedang, lalu aku isi dengan sampah-sampah yang dihasilkan dapurku. Di bawahnya aku taruh bonggol-bonggol jagung dan kulit telur, baru di atasnya aku lemparkan sampah apa saja, yang penting organik.

Setelah agak cukup banyak sampahnya, baru deh aku tanam bibit yang sebelumnya sudah aku simpan di polybag. Polybagnya juga bukan beli, melainkan memanfaatkan plastik bekas refill minyak goreng, deterjen cair, atau plastik refill apa pun yang bentuknya serupa. Tentu saja bagian bawahnya harus dibolongi dulu agar airnya tidak menggenang membusukkan akar.

Nah, sudah beberapa pokok yang berhasil tumbuh dengan subur. Lihat nih, bagus kan?

Tanaman cabe rawit dengan media sampah dapur.Tanaman cabe - sampah dapur.Polybag dari bekas kemasan minyak goreng.


8 Comments

Wanita Muda Berjilbab Marun

Kemarin, Senin, 28 Oktober, aku menjemput Fay di sekolahnya. Ketika berangkat dari rumah jam 13-an, hari sudah mendung. Seperti biasa aku mengendarai si Beaty sampai Citayam dan memarkirnya di penitipan sepeda motor di belakang Stasiun Citayam. Kemudian aku menyeberang rel untuk mencegat angkot.

Pulangnya, ketika masih berada di angkot 06 arah Margonda dari Simpangan Depok, turun hujan dengan derasnya. Bahkan ketika turun di perempatan Margonda untuk berpindah ke angkot 05 arah Citayam, payung tak mampu lagi menaungi kami berdua, dari derasnya guyuran hujan.

Ketika angkot 05 di tengah perjalanan menuju Citayam, hujan angin dan petir membuat kami para penumpang; aku, Fay, seorang ibu tua, dan dua balita, berzikir. Bahkan pak supir kelihatannya keder. Dia menanyakan tujuan akhir kami. Kelihatannya dia takut untuk melajutkan perjalanan, karena kondisi cuaca semakin ekstrim. Air di jalan pun semakin meninggi; banjir lokal. Tapi syukurlah, dia tetap menjalankan kewajibannya mengantarkan kami hingga tiba di Stasiun Citayam.

Sampai di depan stasiun, tidak ada tanda-tanda cuaca bersahabat. Aku, yang bukan pengendara motor yang mahir dan harus membonceng Fay, memutuskan untuk pulang naik angkot saja hingga gerbang perumahan, dan membiarkan si Beaty menginap di penitipan motor.

Tadi pagi (29/10), aku pun naik angkot ke Citayam untuk menjemput si Beaty. Dari Sasakpanjang aku naik angkot 111 dan turun di Hek (perempatan Jalan Pertanian dan Jalan Raya Cipayung). Dari sana aku berjalan kaki sekitar 500 meter ke belakang stasiun. Bisa dibilang jauh, tapi juga bisa dibilang cukup dekat. Nggak cukup bikin berkeringat juga sih.

Baru beberapa meter aku berjalan, seorang perempuan pengendara motor berhenti di sebelahku dan menawarkan tumpangan ke arah stasiun. Tanpa pikir panjang, aku menyambut tawarannya dengan gembira. Lumayan daripada berjalan kaki. Hehehe.

Dalam jarak sependek itu, aku hanya tahu kalau dia mau menjemput suaminya di stasiun. Dan aku pun mengucapkan terima kasih kepada perempuan muda berjilbab merah marun itu. πŸ˜€ Semoga kebaikannya dicatat malaikat. (y)


4 Comments

Lagu Anak-anak yang Dibenci Pecinta Lingkungan

Sepasang kenari yang baru kubeli
Kukurung di dalam sangkar indah sekali
Riang gembira bernyanyi tak berhenti
Tri li lil ililililililili

Begitu bunyi lirik lagu anak-anak yang kukenal sejak kecil. Isinya pasti bikin jengkel para pencinta lingkungan hehehe.
Tapi kelihatannya anak-anak jaman sekarang tak mengenal lagu ini. Soalnya ketika kemarin berlebaran, seorang keponakan yang berumur 17 tahun tidak familiar dengan lagu ini. Bagus deh. hehehe


8 Comments

Kenapa? Mundur nih? :P

Inbox message-ku menyala. Seorang lelaki 34 tahun menyapaku:

dia: assalam

aku: waalaikumsalam

dia: apa kbr?

aku; alhamdulillah

dia: lg dmn?

aku: di rumah

dia: ntar soree ada waktu?

(aku mulai curiga, tapi tetap berbaik sangka, mungkin dia mau beli daganganku)

aku: buat apa? mau join oriflame? atau mau beli abon, dendeng, baksao, atau siomay? atau semunya? πŸ˜€

dia: bole

bisa silaturahmi ntar sorew?

nuhun

aku: emang rumahnya di mana?

dia: ku rncaekek

bisa?

semoga allah meridoi.

aku mulai bingung! Lha, rancaekek kan di Bandung toh? tapi gak yakin maksudnya rancaekek juga.

aku: apaan tuh? maksudnya apaan? (rncaekek)

dia: ketemuan

gmn?

aku: datang aja ke rumah. tapi kalo ada suami saya aja.

dia: waduhhh

aku: kok waduh? kan tadi katanya mau silaturahmi?

tak ada balasn lagi. tertulis: dilihat 11.00

Walah, maksudnya apa ya? dia gak tau status saya? umur saya? atau gimana sih ni orang. padahal kan saya jelas sekali di FB menyatakan diri sebagai ibu rumah tangga yang jelas ada suaminya, punya anak autis, tanggal lahirnya juga jelas menyatakan umur saya hampir 46 tahun loh… πŸ˜› πŸ˜€


4 Comments

Cara Bikin Bakso

Bahan-bahan

500 gr daging sapi cincang (pilih yang nggak berlemak)
1 sdm garam
50 ml air es
1 1/2 sdm tepung sagu (karena disini enggak ada, saya ganti pake maizena. Resikonya: kekenyalan menjadi agak berbeda. Tapi masih okay lah)
100 ml air
1 sdt merica bubuk
1 siung bawang putih, haluskan
1/2 sdt baking powder

Cara memasak

1. Campur daging sapi, garam dan air es sampai rata (saya pake Food Processor). *tapi kalo enggak punya FP, pake blender biasa juga bisa, kok*
2. Keluarin dari FP, taruh di wadah, tambahin tepung sagu (atau dalam kasus saya: maizena), aduk sambil ditambahin air sedikit demi sedikit, merica, bawang putih halus dan baking powder. Banting-banting adonan sampai kalis (tapi saya biasanya enggak. ehk, kadang kumat malesnya ya, bow!).
3. Rebus bakso di air mendidih sampai bakso terapung (tandanya udah mateng), angkat, tiriskan. Bakso siap dipakai.
Tips: biar bakso nggak menghitam setelah diangkat dari air, langsung cemplungin ke wadah yang berisi air es. Biarkan beberapa saat, baru kemudian tiriskan dan disimpan/dipakai.

Note. Bakso yang udah mateng bisa disimpen di freezer (bukan fridge) selama kurang lebih 4 bulan. Thawing dulu sekitar 6 jam sebelum dipakai.

Bikin Kuah Bakso

Bahan-bahan

1 buah tulang kaki sapi
5 siung bawang putih, cincang halus
5 liter air
1 sdt merica
minyak, buat menumis bawang putih

Cara memasak

1 Panasin minyak, tumis bawang putih sampai harum. Masukkin tulang kaki sapi dan merica bubuk. Gabrukkin ke panci berisi air 5 liter.
2 Rebus pake api kecil sampai air tersisa sekitar 3 liter (iya, lama aja gitu)

Note. aroma harum dan rasa gurih akan keluar dari tulang. Itulah sebabnya proses perebusan harus lama.

Catatan: resep dikutip secara semena-mena dari FB-nya Vina. πŸ˜€