Efin Fintiana

Emak-emak pengen eksis


12 Comments

Biduk Lalu Kiambang Bertaut

Duluuu, ketika TVRI belum ada saingannya, ada program Bahasa Indonesia yangΒ  diasuh oleh Prof Dr JS Badudu, dosen di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran, Bandung.

Aku suka program ini. Entah mengapa, padahal pelajaran Bahasa Indonesiaku di sekolah biasa-biasa saja. πŸ˜€ Mungkin Pak Yus Badudu –demikian ia biasa dipanggil– pandai membawakannya dengan menarik atau karena memang waktu itu TVRI satu-satunya stasiun TV yang ada, jadi ya.. yang dipantengin cuma itu saja. Hehehe. ;))

Ada satu bahasan yang diuraikan oleh Pak Badudu yang masih kuingat sampai sekarang, Waktu itu Pak Badudu membahas secara khusus satu peribahasa yang jarang terdengar, dan sampai sekarang pun tidak populer. Bunyi peribahasa itu: Biduk Lalu Kiambang Bertaut.

Biduk, seperti kita tahu, adalah perahu kecil. Sedangkan kiambang (kayambang, Bhs Sunda) adalah sejenis tanaman air yang mengambang di permukaan rawa, danau, atau sawah.

Menurut Pak Badudu, peribahasa ini mengandung makna, saat dua saudara kandung bertengkar, setelah masalahnya selesai, mereka akan berbaikan kembali. Persis seperti tanaman kiambang yang terbelah oleh biduk yang melintas. Begitu biduknya berlalu, sekumpulan tanaman kiambang yang terpisah oleh biduk itu, akan kembali bertaut, dan kembali menutupi permukaan air.

Aku berharap, peribahasa ini tidak cuma berlaku buat saudara kandung, tetapi juga persaudaraan yang lebih luas, persahabatan. πŸ™‚

Keterangan foto: kiambang di sawah [http://shw.tugimun.fotopages.com]


4 Comments

Pepes Jamur Tiram ala Efin

Bahan:

– Jamur tiram segar 1/4 kg disuwir-suwir,

– Kemangi rp 1000 dipetiki daunnya saja,

– Tomat ukuran sedang, potong dadu,

– Cabe rawit jingga 5 biji saha diiris serong,

– Irisan bawang merah dan bawang putih

Cara Pengolahan:

Campur semua bahan, tambahkan garam secukupnya. Aduk-aduk sampai tercampur merata. Bungkus dengan daun pisang. Dipanggang dengan api kecil. Kalau tak ada daun pisan, bisa dipanggang langsung di atas wajan dengan api kecil dan ditutup rapat.

Dimakan dengan nasi hangan dan lauk peda. mmmhhhh enak deh… πŸ˜€


Leave a comment

Nyoba Bonceng Fay Lagi

Kamis, 6 September 2012, ayahnya Fay tak bisa menjemput Fay dari sekolah, karena harus menghadiri rapat di jam yang hampir bersamaan waktu kepulangan Fay.

Biasanya kalau aku harus menjemput Fay, aku menggunakan kendaraan umum, naik angkot. Dari rumah ke sekolahnya Fay aku harus tiga kali naik angkot, disambung jalan kaki.

Lama perjalanan kira-kira dua jam. Itu karena angkot dari Sasakpanjang ke Citayam jalannya super lelet. Bayangkan saja, jarak tempuh yang hanya 7 kilometer memakan waktu satu jam! Karenanya, aku ingin mulai aktif lagi bersepeda motor, seperti rencana semula waktu membeli motor matik; agar aku bisa mengantar-jemput sekolah Fay.

Sebelumnya, aku pernah mengendarai motor sendirian ke sekolah Fay di Cimanggis, yang berjarak 21 kilometer, melewati jalanan ramai. Aku menjemput Fay dari sekolah ke rumah, seperti yang aku ceritakan di sini.

Waktu itu, kami janjian dengan suami, untuk ketemu di sekolah. Aku dari rumah, sedangkan suami dari kantornya. Dari sekolah, aku yang membonceng Fay, suamiku mengawal. Ternyata, selama perjalanan Fay tak mau duduk diam. Dia bergoyang kiri-kanan sesuka hatinya. Susah payah aku menjaga keseimbangan motor.

Selamat sih selamat sampai rumah, tapi kedua jempol tanganku mati rasa, karena dengan sekuat tenaga menahan setang agar tetap lurus. Stress banget deh… Sejak itu, aku tak pernah mencoba membonceng Fay lagi…

Tapi sekarang ini, saking jengkelnya dengan angkot yang tak bisa diandalkan, aku ingin mencoba lagi berlatih menjemput Fay dengan motor. Tapi karena tak didampingi suami, aku ambil resiko yang paling kecil dulu; perjalanan dari rumah ke Stasiun Citayam (PP), dan menitipkannya di sana, untuk disambung dengan angkot. Maklum, aku kan belum terlalu mahir di jalan raya, dan belum punya SIM (polisi Depok “galak-galak”).

Hari itu Fay pulang sekitar bada dzuhur, pulang lebih dulu dari teman-temannya yang pulang jam 14.00. Hal ini karena Ibu Nur, shadow teacher Fay harus ke Kebon Maen untuk ikut pelatihan. Aku berangkat jam 10.00. Dengan menggunakan motor, aku bisa menempuh Sasakpanjang-Citayam dalam waktu setengah jam. Padahal kecepatanku rata-rata cuma 30 km/jam. Dengan motor sepelan itu, aku masih bisa menyalip empat angkot yang berjauhan satu sama lain.

Di belakang Stasiun Citayam, motor aku titipkan di penitipan motor, disambung dua kali naik angkot, kemudian jalan kaki. Pulangnya, kami berua jalan kaki ke Simpangan Depok, kemudian naik angkot dua kali.

Di angkot aku sudah bilang ke Fay, kalo nanti dari Citayam kami akan naik motor. Aku mewanti-wanti Fay agar tidak bergoyang-goyang selama di motor. Tapi, ya gitu deh… Selama dibonceng, kedua tangan Fay tidak berpegangan. Sepanjang jalan Citayam-Sasakpanjang aku terus-terusan berteriak: “Fay, diam! jangan bergoyang-goyang!”

Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat sampai di rumah. Jempol tanganku agak sakit sedikit, tapi tak sampai mati rasa seperti dulu lagi. Mungkin karena jaraknya tidak terlalu jauh.

Mudah-mudahan menjemput Fay dengan motor bisa menjadi kegiatan rutin, yang membuatku semakin mahir mengendarai motor.