Efin Fintiana

Emak-emak pengen eksis


Leave a comment

31 Desember 1933

apih_fay

Ini adalah tanggal kelahiran ayahku. Kami sebagai keluarga inti dan sebagian keluarga besar, dengan mudah mengingatnya, karena tanggal yang “istimewa” itu. Ayahku dulu sambil bergurau sering bilang kalau ulang tahunnya dirayakan oleh umat manusia di seluruh dunia. Ya iya lah! Tanggal 31 Desember, akhir tahun, apalagi beliau dilahirkan tepat jam 12 malam alias malam pergantian tahun. Harinya hari minggu, kalau nggak salah. Jadi mana mungkin aku tak ingat tanggal kelahiran ayahku.

Rabu, 19 Desember 2012 lalu, ketika aku mendaftarkan ayahku untuk mendapat kamar ICU di RS Thamrin Salemba, petugas penerima pendaftaran menanyakan tanggal lahir ayahku. Aku sebutkan bulan Juni 1936.  Tapi petugas RS memintaku memberikan tanggalnya. Karena lupa, aku lari dulu menemui adikku untuk menanyakan tanggalnya. Ternyata, adikku juga tidak ingat. Dokter jaga UGD yang sedang bicara dengan adikku memandang kami dengan pandangan heran. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana sih, kok bisa-bisanya kami tidak ingat hari ulang tahun ayahnya sendiri?

Untunglah, adikku segera memberikan kartu berobat, yang di dalamnya tertulis tanggal, bulan, dan tahun lahir ayahku (yang 1936). Jadi petugas pendaftaran bisa segera memroses pendaftaran itu.

Mengapa kami tak ingat tanggal lahir ayah kami? Karena memang ayahku di dalam semua dokumen resminya tidak menggunakan tanggal lahirnya yang sebenarnya, yaitu tanggal 31 Desember 1933. Beliau malah menggunakan tanggal lahir adik perempuannya yang meninggal saat dia masih kecil.

Kami tidak tahu mengapa kakek memberikan tanggal lahir adik perempuan ayahku untuk disematkan dalam identitas ayahku, waktu pertama kali masuk sekolah. Ayahku pun tak tahu alasannya. Sebagai anak, beliau hanya menerima saja ketika ayahnya memberikan tanggal itu untuk dipakai ayahku di identitas waktu sekolah, kemudian kartu identitasnya.

Malamnya, Rabu, 19 Desember 2012, ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir sekitar jam 22.30. Dua belas hari menjelang ulang tahunnya yang ke 79. Keesokan harinya, kami menguburkannya dan di nisannya kami tuliskan tanggal lahirnya yang asli: 31 Desember 1933. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun… Beristirahatlah dengan tenang Apa. Ya Allah, izinkanlah ayahku mendapat ampunanMu dan memasuki surgaMu kelak. Aamiin…

Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wassi’ mudkholahu waghsilhu bilmaa`i wats tsalji wal barodi wa naqqihi minal khothooyaa kamaa naqqaitats tsaubal abyadla minad danasi wa abdilhu daaron khoiron min daarihi wa ahlan khoiron min ahlihi wa zaujan khoiron min zaujihi wa adkhilhul jannata wa a’idzhu min ‘adzaabil qobri au min ‘adzaabin naar.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia, muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnya, bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan gantilah rumahnya -di dunia- dengan rumah yang lebih baik -di akhirat- serta gantilah keluarganya -di dunia- dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangan di dunia dengan yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka.


4 Comments

Dibawa KRL Keliling Jakarta

Jumat, 7 Desember 2012, seharusnya Fay mengikuti kegiatan sekolah; berenang di kolam renang Pesona Khayangan. Tapi pagi-pagi menjelang keberangkatan, shadow teachernya Fay meng-SMS. Katanya, dia tak bisa mendampingi Fay karena harus mendampingi saudaranya yang melahirkan. Kami pun mendadak mengubah rencana. Aku, yang sedang banyak pekerjaan di rumah, harus menggantikan shadow teachernya Fay mendampingi Fay di kolam renang. Tadinya, aku hanya akan menjemput Fay seusai berenang, dan setelah itu kami berdua langsung berangkat ke rumah Apih di Penggilingan.

Ketika kami sampai di halaman depan kolam renang, tak terlihat seorang pun yang kami kenal. Mungkin mereka sudah berada di kolam. 😀 Aku menelepon ibunya teman Fay yang juga anak berkebutuhan khusus. Biasanya dia selalu didampingi ibunya. Tapi ternyata temannya Fay hari itu tidak ikut berenang. Hayyah, yang ikut renang berarti cuma anak-anak lain aja. Males ah harus mendampingi Fay sendirian di kolam renang. Aku langsung memutuskan untuk langsung berangkat aja ke Penggilingan naik KRL. Untung Fay tidak protes maupun maksa untuk renang, karena mungkin dalam pikirannya memang acaranya tidak jadi. 😛 Hihihi

Kemudian kami naik angkot ke Terminal Depok, lalu jalan kaki menuju stasiun KA Depok Baru. Ketika membeli tiket, ternyata aku tahu bahwa kereta berikutnya adalah Commuter Line menuju Jatinegara.

KRL_commuter

Biasanya aku selalu turun di Stasiun Tebet, kemudian naik angkot ke terminal Kp Melayu, lalu disambung Bus TransJakarta koridor 11, menuju Pulogebang. Padahal sebenarnya sejak jalur ke Jatinegara dibuka, aku ingin mencobanya. Tapi aku selalu dalam keadaan tergesa-gesa ingin segera sampai ke rumah karena Fay dan ayahnya yang naik motor, kadang datang lebih dulu.

Karena kali ini aku berdua dengan Fay, dan hari masih pagi, tak ada yang menunggu pula, maka aku meniatkan untuk naik kereta itu sampai tujuan akhir di Jatinegara.

Ternyataa sodara-sodaraaa… keputusanku selama ini turun di Tebet adalah benar. Pasalnya, kereta ke Jatinegara itu jalurnya jauh sekali, serasa berkeliling Jakarta booo! Bayangkan saja, setelah stasiun Tebet, kami melewati sederatan Stasiun: Manggarai, Sudirman, Karet, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan (dekat Ancol), Rajawali, Kemayoran, Pasar Senen, Sentiong, Kramat, Pondok Jati, dan baru deh sampai di Jatinegara. BTW, aku baru menginjakkan lagi kakiku di Stasiun Jatinegara, setelah –rasanya– berabad-abad lalu. Padahal dulu, setiap dua minggu sekali, waktu masih kuliah di Bandung, aku pulang ke Jakarta naik kereta Parahyangan Jumat sore, dan kembali ke Bandung Senin subuh dari Jatinegara, dan langsung kuliah di kampus. 😛

Kembali lagi ke cerita di atas. Sampai di Stasiun Manggarai, kirain penumpang akan banyak yang turun. Ternyata malah tambah banyak. Baru di Stasiun Sudirman penumpang agak berkurang sedikit. Nah, di Stasiun Karet, baru deh banyak yang turun sehingga kami mendapat tempat duduk. Setelah itu berangsur-angsur penumpang berkurang. Bahkan ketika sampai di Stasiun Sentiong, cuma ada aku, Fay, dan seorang lagi di gerbong wanita itu. Hehehehe.

Entah kenapa, jalur Lingkar Jakarta itu dibuka ya? Padalah penumpangnya kurang gitu. Gak rugi gitu PT KAI?

Walaaah… ini mah keliling Jakarta benerrr… 😀 Puas sih, dengan harga tiket cuma Rp 8000 bisa keliling gitu. Turun kari kereta, keluar dari stasiun, kami langsung naik tangga menuju halte bus TransJakarta deh. Kebetulan, rumah Apihnya Fay tak jauh dari halte Bus TJ (Penggilingan). Jadi, kami tinggal berjalan kaki ke sana. 😀